Selasa, 27 Oktober 2020

PIJATAN YANG MEMBENTUK KENANGAN

Beberapa waktu lalu kami sekeluarga berkesempatan piknik ke pantai. Tentu dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kami memilih pantai yang tidak ramai, menghindari kerumunan, tetap memakai masker dan cuci tangan atau memakai handsanitizer.

Pulang dari pantai, karena lelah, suami saya tiduran di lantai. Lalu anak saya dan sepupunya datang menghampiri dan dengan sukarela menawarkan diri untuk memijat. Tentu saja suami saya tidak menolak. Sungguh pemandangan yang lucu sekali. Sambil tertawa, dua anak ini memijat dengan sungguh-sungguh meski tenaga mereka sebetulnya tak seberapa.

By the way ayah bunda yang baik, Anda punya kenangan memijat atau dipijat orang tua waktu Anda kecil dulu?

Saya punya.

Waktu kecil dulu, ibu sering meminta saya memijat punggung dan kakinya. Kalau ibu terlalu capek dan pijatan saya kurang kuat, ibu meminta saya menginjak-injak punggung dan kaki beliau. Atau kalau ibu sedang pusing, ibu meminta saya menarik-narik rambutnya. Lucu juga kalau mengingat-ingat kembali saat-saat itu.

Pijat memang bisa bikin badan lebih enak, lebih segar, lebih rileks. Namun tak hanya itu, pijat ternyata mengandung pembelajaran parenting yang cukup penting.

Dalam sebuah kajian parenting yang saya tonton di youtube, ustadz Bendri Jaisyurahman pernah berkata bahwa seorang ibu, bila ingin dekat bahkan dirindukan selalu oleh anaknya, maka salah satu kemampuan yang harus dimiliki ialah kemampuan memijat. Tentu ini tak hanya berlaku bagi ibu saja, tapi saya rasa seorang ayah pun perlu melakukannya. Dan tak harus ahli, maksudnya, Anda tak  harus jadi ahli pijat yang menguasai semua titik syaraf, meski kalau Anda menguasainya maka itu lebih baik. Yang penting Anda memijat anak dengan tulus saja, itu sudah cukup.

Mengapa dalam pijat ini ada pelajaran parentingnya???

Pertama, karena pijat ini erat kaitannya dengan sentuhan. Dan kalau kita berbicara tentang parenting, sentuhan antara orang tua dan anak punya arti yang sangaaaaat penting.

Saya jadi ingat sebuah brosur dari rumah sakit tempat saya melahirkan anak saya dulu. Brosur itu mengatakan sebuah kalimat yang terus saya ingat sampai sekarang “Bagi bayi, sentuhan itu sama pentingnya seperti nutrisi dalam makanan”. Saya rasa tidak hanya bagi bayi. Sentuhan sangat bermakna bagi semua orang, termasuk yang sudah dewasa sekalipun.

Sentuhan itu (dalam artian positif) bisa menjadi cara untuk menunjukkan kasih sayang, cara untuk menenangkan, cara untuk menunjukkan empati, cara untuk memberikan semangat, bahkan bisa menjadi cara untuk menyembuhkan. Dan pijat bisa menjadi salah satu bentuk sentuhan itu.

Jadi, kalau kita ingin menunjukkan kasih sayang pada anak-anak kita, ingin menenangkan mereka ketika mereka sedang risau bin galau, ingin menunjukkan empati pada apa yang sedang mereka rasakan, ingin memberikan suntikan semangat, bahkan menyembuhkan mereka ketika sakit fisik maupun batinnya, maka pijatlah mereka, dengan tulus dan tanpa pamrih.

Kedua, karena pijat ini bisa menjadi cara untuk membangun kedekatan dengan anak-anak kita.

Sekarang ini, gadget kerap kali mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Sehingga meski secara fisik kita dan anak-anak dekat, tinggal dalam satu atap, bahkan duduk bersebelahan di satu ruangan namun hati terasa jauh. Media sosial membuat kita tahu kabar terbaru tentang artis dalam maupun luar negeri, namun tidak tahu kabar terbaru tentang anak kita sendiri. Macam-macam aplikasi membuat masing-masing anggota keluarga jadi sibuk sendiri. Sehingga bermain dengan gadget lebih menarik daripada bermain dengan orang tua ataupun anak. Alhasil, kedekatan menjadi barang langka di keluarga.

Nah, pijat bisa jadi sarana untuk menumbuhkan dan mempererat kedekatan itu. Sambil kita memijat anak atau dipijat anak, kita bisa sambil mengobrol santai, bercerita tentang banyak hal, curhat, bahkan membincangkan mimpi-mimpi ke depan.

Ketiga, karena pijat bisa menjadi kenangan.

Mengasuh anak itu intinya dua. Pertama, membentuk kebiasaan-kebiasaan baik yang berujung pada pembentukan karakter yang baik pula. Dan kedua, menciptakan kenangan yang akan berguna di masa depan. Salah satu hal yang membentuk kita dalam perjalanan hidup ini adalah kenangan. Kenangan yang membahagiakan akan membentuk pribadi kita, pun dengan kenangan-kenangan yang buruk atau menyakitkan.

Demikian halnya dengan kenangan anak terhadap orang tuanya. Adalah hal yang bagus bila seorang anak punya banyak kenangan yang membahagiakan bersama orang tuanya. Ini akan turut membentuk pribadinya dan akan mempengaruhi caranya mengasuh saat kelak menjadi orang tua.

Nah, dipijat atau memijat orang tua bisa menjadi kenangan yang membahagiakan untuk diingat dan menjadi bekal untuk mengasuh generasi berikutnya.

Jadi ayah bunda yang baik, yuk mulai membiasakan memijat anak, ketika mereka akan tidur, ketika mereka sedang lelah, atau di momen-momen yang lain. Tak ada salahnya pula meminta mereka memijat kita dan menjadikannya momen yang indah untuk dikenang.

 

-Self reminder-

Semoga bermanfaat 

Photo by Keluarga Anggur


Selasa, 22 September 2020

AYAH BUNDA HARUS BELAJAR MEMBACA (LAGI)

 

Suatu siang sepulang sekolah, saya dan beberapa ibu wali murid sedang ngumpul di salah satu ruang kelas. Kami tengah sibuk mengecek kelengkapan kostum dan asesoris untuk persiapan lomba ekstrakurikuler.

Karena kami semua ibu-ibu, maka seperti biasa, kami pun mengeluarkan kemampuan multi-tasking kami. Sambil tetap cekatan bekerja menyiapkan kostum dan semua asesorisnya, kami asyik membicarakan macam-macam topik.

Lalu salah seorang ibu bercerita “Eh bu-ibuuu anak ku kemarin naik level lho. Sekarang sudah mulai belajar hitung-hitungan yang lebih sulit. Emang bagus banget lah les di situ” ujarnya antusias. Ibu-ibu yang lain langsung tertarik dan menanggapi.

Saya? Seperti biasa, lebih suka mendengarkan obrolan mereka dan memperhatikan ekspresi mereka satu-satu. Saya memang suka memperhatikan orang-orang yang tidak sadar sedang diperhatikan hehehe...

Tak lama kemudian, anak-anak kami masuk ke dalam kelas lalu mendekati ibunya masing-masing. Sepertinya mereka bosan bemain di halaman sekolah sambil menunggu kami bekerja. Beberapa penasaran melihat-lihat, memegang-megang, dan bertanya ini itu tentang kostum dan asesorisnya. Beberapa mulai merajuk mengajak ibu mereka pulang. Namun tidak dengan anak si ibu tadi. Begitu masuk ke dalam kelas, ia duduk di samping ibunya. Tampak lemas dan wajahnya pucat. Si ibu langsung berkata “Habis ini kita langsung ke tempat les ya!” Si anak hanya diam, tak menjawab, lalu menyandarkan kepalanya di lengan ibunya. Kemudian si ibu berkata lagi “Pokonya nanti harus les ya. Kan kamu sudah naik level. Oke? Toss dulu!” ucapnya sambil memberikan telapak tangan nya. Si anak membalas lemah toss itu. Lalu si ibu kembali bekerja sambil bercakap-cakap lagi.

Pemandangan itu cukup mengusik saya. Saya memang bukan ibunya, dan ibunya pastilah lebih tahu tentang anak itu ketimbang saya. Tapi kelihatannya ada sesuatu dengan anak itu, entah kelelahan atau sedang sakit. Mengapa tidak diberi minum dulu? Atau mengapa tidak ditanya kondisinya dan malah memberondongnya dengan ungkapan-ungkpan bahwa ia harus tetap datang les? Dari situlah saya yakin bahwa kita sebagai orang tua memang perlu bahkan harus punya kemampuan membaca bahasa tubuh anak.

Mengapa ?

Pertama, karena anak-anak kita belum tentu tahu apa yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri. Kedua, mereka belum tentu mampu mendeskripsikan atau menyebutkannya dengan kata yang tepat kepada kita. Mungkin kosa kata mereka masih terbatas. Atau ketiga, bisa jadi mereka sebetulnya sudah tahu apa yang sedang mereka rasakan, dan sudah punya kosa katanya, namun tak cukup berani untuk menyampaikannya pada kita.

Kalau dalam contoh yang saya ceritakan di awal tadi, bisa jadi si anak sebenarnya tidak enak badan, tapi dia belum tau kosa kata “tidak enak badan”. Atau mungkin dia sudah tahu bahwa dia merasa lelah tapi tidak berani mengungkapkannya karena ibunya buru-buru memberondongnya dengan ungkapan-ungkapan bahwa ia tetap harus datang ke tempat les.

Kalau saja kita mau mencoba membaca bahasa tubuh anak-anak kita, sejatinya ini bisa menjadi langkah awal yang baik. Untuk apa? Pertama, untuk mengasah kepekaan kita terhadap mereka. Kepekaan ini sangat penting. Sebab, tidak sedikit masalah yang dialami oleh anak-anak disebabkan orang tuanya kurang peka bahkan abai terhadap mereka. Kedua, untuk membantu kita merespon kondisi mereka dengan tindakan yang tepat.

Namun demikian, tak seperti membaca huruf atau angka, membaca bahasa tubuh ini belum tentu mudah. Ini membutuhkan kesungguhan dan juga latihan.

Mengapa perlu kesungguhan?

Karena kita harus melakukannya di tengah kesibukan dan rutinitas harian kita yang memang sudah padat. Ada kalanya anak menunjukkan sesuatu dengan bahasa tubuhnya ketika kita sedang fokus pada tanggung jawab kita yang lain, atau ketika kita sedang ada di suatu forum dengan orang lain, entah satu dua atau banyak orang.

Selain itu di era gadget seperti saat ini, muncul aktivitas-aktivitas lain yang tak jarang lebih menyita perhatian kita. Sudahlah aktivitas kita padat, masih ditambah dengan ke-asyik-an memfoto ini itu termasuk selfie dan membaginya di media sosial. Disusul mencari tahu kabar-kabar terbaru yang sedang viral dari selebriti maupun teman sendiri. Sehingga tanpa kesungguhan, kita tak sempat lagi fokus memperhatikan anak-anak kita, apalagi membaca bahasa tubuh mereka.

Latihannya?

Setelah membulatkan kesungguhan, maka mari luangkan lebih banyak waktu untuk memperhatikan dan mengamati mereka. Minimalkan aktivitas-aktivitas lain yang kurang bahkan tidak perlu. Dari situlah kita bisa tahu bagaimana bahasa tubuh mereka ketika sedang lapar, sedang mengantuk, sedang lelah, sedang sakit, sedang senang, sedang sedih, sedang marah, sedang kecewa, dsb. Sehingga kita bisa meresponnya dengan tindakan yang tepat.

Yuk ayah bunda, kita mulai dari sekarang untuk membiasakan diri membaca bahasa tubuh anak-anak kita. Sebab, sebagaimana ilmu yang pernah saya dapat saat masih kuliah di jurusan komunikasi dulu, bahasa non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, dll) sejatinya berbicara lebih jujur daripada bahasa verbal alias kata-kata.

 

-Self reminder-

Semoga bermanfaat

 


Selasa, 07 Juli 2020

BAPAK IBU, BERSIAPLAH MERASA SEPI, CEMBURU, DAN MERINDU


Mbok kowe ki ndang gedhe to naaaak, biar ibu nggak capek gendong-gendong kamuuuu terusss....

Begitu keluh seorang teman kepada anaknya ketika kami sedang ngumpul arisan. Sebuah keluhan yang nampak sangat jujur dari lubuk hati yang terdalam. Anaknya yang menggemaskan itu memang belum genap satu tahun. Baru belajar berdiri, belum bisa berjalan sendiri, sehingga ke mana-mana musti digendong atau dipegangi. Yah, bisa dimaklumi, umur-umur segitu memang salah satu periode capek-capeknya kita menjadi orang tua. Sebab anak kita belum sepenuhnya mandiri, masih membutuhkan banyak bantuan dari orang tuanya.

Keluhan senada pernah pula terdengar dari seorang ibu yang baru memasukkan anaknya di PAUD. “Kamu sana lhooo...main sana sama teman-temanmu! Jangan nempel bundaaaaaa terus!” Anak laki-laki yang baru berumur tiga tahun itu tetap berpegangan erat pada baju bundanya, enggan berpisah dan belum mau ditinggal di sekolah.

Dua keluhan di atas sebenarnya sebelas dua belas. Sama-sama ingin agar si anak segera bisa apa-apa sendiri, tidak lagi banyak merepotkan ibunya, kalau bisa juga tak terlalu sering-sering bersama ibunya, agar ibu bisa mengerjakan pekerjaan lain, sekaligus punya waktu untuk dirinya sendiri. Apakah artinya si ibu tidak sayang pada anaknya? Tentu saja tidak demikian. Semua ibu pastilah sangat-sangat sayang pada anak-anaknya. Tetapi keluhan-keluhan semacam itu muncul karena jiwa dan raga sedang lelah-lelahnya. Itu sangat wajar, dan sangat manusiawi.

Namun bapak ibu yang baik, perlu untuk kita ketahui, kita pahami, dan kita ingat-ingat terus setiap hari, bahwa menjadi orang tua itu ada masa-masanya.

Dan sebagaimana semua hal di dunia ini yang sifatnya sementara (kecuali Tuhan), maka masa-masa itu pun sejatinya juga sementara.

Ada masa di mana kita sebagai orang tua harus memberi banyak bantuan pada anak-anak kita, sehingga waktu, pikiran, tenaga, materi dan perasaan kita banyak tersita untuk mereka. Ada masa di mana anak-anak ingin selaluuuu dekat dengan kita dan perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru maupun orang asing. Namun itu semua hanyalah sementara.

Sebab kelak, akan datang masa di mana mereka sudah mampu mengurus diri dan segala kebutuhannya sendiri. Bahkan menolak bantuan ketika kita menawarkan diri. Akan datang juga masa di mana mereka justru lebih dekat dengan teman-temannya, baik dari dunia nyata maupun maya. Bahkan ketika masa ini tiba, mungkin mereka akan berkata pada kita “Bapak/Ibu sana, ke laut aja.....” hehehehe.... Pun akan datang masanya saat mereka terbang jauh meninggalkan kita, menggapai mimpi dan cita-cita, yang mungkin adanya di tempat lain nun jauh di sana. Dan akan datang pula masanya saat mereka menemukan jodohnya, lalu memulai kehidupan baru bersama pasangan serta anak-anaknya.

Percayalah, ketika tiba masa-masa ini, maka rasa sepi pun perlahan menghampiri. Rasanya dulu rumah kita pernah ramai. Ramai oleh jerit tangis mereka, rengekan mereka, gelak tawa mereka, pertanyaan-pertanyaan mereka tentang apa ini apa itu kenapa begini kenapa begitu dan sebagainya.

Ketika masa ini tiba, mungkin cemburu juga ada. Cemburu sebab mereka lebih dekat, lebih akrab, lebih suka, lebih senang, lebih gembira, lebih sering menghabiskan waktu bersama, bahkan lebih terbuka tentang masalah pribadinya justru dengan teman-temannya.

Dan ketika datang masa ini, mungkin kita juga akan merindu sekali. Rindu pada masa ketika mereka masih kecil dan lucu, ketika mereka selalu minta gendong dan nempel pada kita melulu, ketika mereka masih harus selalu dibantu ini dan itu.

Fiuuuhhhhh.....

Pertanyaannya, ada di masa yang mana kita sekarang?

Jika saat ini kita berada di masa yang masih harus banyak membantu dan menemani mereka, maka mari nikmati setiap detiknya. Mari bersabar menjalani setiap peristiwanya. Mari sediakan waktu untuk mereka, singkirkan sementara gawai dan pekerjaan kita, ajak mereka bermain bersama, bacakan buku dan ajak bercerita di waktu menjelang tidurnya. Berikan sentuhan fisik dan kata-kata baik yang mampu mengisi kantong jiwanya. Kenalkan pula Tuhan kepada mereka.

Namun jika saat ini kita ada di masa-masa yang sepi, merasa cemburu, dan sedang merindu pada mereka, mari kita syukuri apa-apa yang sudah terjadi di masa lalu. Mari bertaubat atas segala salah dan khilaf kita pada mereka waktu itu. Mari terus panjatkan doa dan titipkan mereka pada Sang Pencipta dan Penggenggam Waktu.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yanng beriman dan mengerjakan amal sholih, dan saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran”
(QS Al Asr 1-3)

-Self Reminder-
Semoga bermanfaat

Masa-masa itu....


Jumat, 26 Juni 2020

OBROLAN TENTANG TUHAN


Suatu kali saat sedang makan malam, tiba-tiba anak saya berkata “Alloh itu jahat ya bun.”

Apa???! Sendok dengan nasi hangat dan lauk yang sudah tepat di depan mulut saya, urung saya suapkan.

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Soalnya Alloh ngasih virus corona. Gara-gara virus corona, banyak orang yang sakit, banyak orang yang meninggal. Berarti Alloh jahat kan?”

Hemm...ini serius. Maka makan malam saya, saya tunda dulu.

“Nak, Alloh itu Maha Baik. Dan semua yang Alloh berikan pada kita pasti baik. SE-MU-A.”

“Lha virus corona itu?”

“Itu juga baik.”

“Apa baiknya?”

“Lewat virus corona, sebetulnya Alloh mau ngajarin kita, supaya kita jadi manusia yang lebih baik. Coba kamu ingat-ingat, dulu kita malas cuci tangan. Kadang makan aja kita nggak cuci tangan dulu. Padahal cuci tangan itu untuk kebaikan kita sendiri, biar kita sehat. Nah, sejak Alloh kasih virus corona, kita semua jadi rajin cuci tangan kan? Mau apa-apa cuci tangan dulu. Mau masuk toko, cuci tangan. Habis pegang uang, cuci tangan. Habis main di luar, pulang langsung cuci tangan.”

“Dulu, kalau naik motor, kamu nggak pernah mau pakai masker. Kamu bilang pengap, nggak bisa nafas. Padahal manfaatnya untuk kamu sendiri. Supaya kamu nggak menghirup asap motor, asap mobil, debu. Nah sekarang, ke mana-mana kamu jadi selalu pakai masker. Mungkin awalnya memang terpaksa, pengap, agak susah nafas, tapi lama-lama terbiasa juga. Malah waktu kemarin kamu beli masker gambar frozen, di rumah pun kamu pakai itu maskernya.”

“Ooooo..iya ya....” ia tampak sedang berpikir. Kesempatan. Saya pun menyendok lagi nasi saya. Belum sempat masuk ke mulut, ternyata ia bertanya lagi.

“Lha orang-orang yang sakit karena corona itu, kan kasihan bun. Apa itu artinya Alloh baik?”

Saya letakkan kembali sendok saya.

“Iya, Alloh baik nak. Kalau kita bisa sabar menerima sakit, maka Alloh akan gugurkan dosa-dosa kita. Satu lagi, kamu ingat nggak, dulu waktu PAUD kamu pernah kena diare sampai lemes banget?”

“Ingat...”

“Gimana rasanya?”

“Nggak enak...”

“Jadi, enak sakit atau sehat?”

“Ya sehat lah, bun.”

“Mau sakit lagi?”

“Nggak mau...nggak mau...nggak mau...”

“Nah, lewat sakit, Alloh ngajarin kita betapa enak sekali sehat itu. Sehingga kita akan terus berusaha supaya sehat. Mandi yang bersih, cuci tangan yang bersih, makan sayur, makan buah, berjemur pagi-pagi, daaaan lain-lain.”

“Ooooo....” Dia terdiam lagi sejenak. Tampak sedang mencerna kata-kata saya. Oke, satu suap dulu, pikir saya. Ternyata ia bertanya lagi..

“Lha kalau yang meninggal karena corona itu? Kenapa Alloh membuat orang-orang itu meninggal?”

“Kalau meninggal itu namanya takdir. Sudah Alloh tetapkan. Kita semua ini suatu hari pasti meninggal. Ayah, bunda, kamu, semuanya pasti akan akan meninggal. Yang hidup terus cuma Alloh. Ada yang meninggal karena sakit. Ada yang karena kecelakaan. Ada yang nggak sakit, nggak kecelakaan, lalu meninggal. Macam-macam. Nah, kapan waktunya kita meninggal dan apa penyebabnya, cuma Alloh yang tau. Yang penting kita harus berusaha berbuat baik terus, supaya pas meninggal pas sedang berbuat baik”.

“Oooooooo...gitu.....”

“Jadi, kesimpulannya, Alloh itu baik atau jahat, nak?”

“Baik”

“Maha Baik. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?”

“Nggak...nggak ada.”

Alhamdulillaaaaaah...akhirnya saya bisa makaaaaaaan, seru saya dalam hati.

Tapi makan malam kali itu membuat saya berpikir. Rasanya obrolan-obrolan semacam itu perlu sering-sering dilakukan. Agar anak-anak tahu dan kenal Tuhan nya. Sebab, bak kata pepatah, tak kenal maka kenalan. Eh, maksud saya, tak kenal maka tak sayang.

Jadi, dari mana anak-anak kita akan sayang Tuhan nya bila mereka tak kenal seperti apa Dia. Dan dari mana anak-anak akan patuh pada perintah Tuhan nya, bila dalam hati mereka tak ada rasa sayang pada Pencipta nya. Salah satunya adalah dari obrolan-obrolan kita dengan mereka tentang Tuhan.

-Self reminder-
Semoga bermanfaat.

Jumat, 12 Juni 2020

SILENT-TALK


Beberapa waktu lalu saya terlibat dalam sebuah rapat yang agak lucu. Mengapa “agak” lucu? Sebab, rapat itu sebenarnya bukan rapat untuk membahas komedi, melainkan membahas keamanan komplek perumahan setelah salah satu rumahnya kemasukan maling.

Nah, yang membuatnya lucu ialah proses dan peserta rapatnya. Bagaimana tidak, belum satu peserta selesai mengutarakan pendapatnya, sudah dipotong oleh peserta lainnya. Si peserta yang memotong ini belum selesai bicara, sudah dipotong juga oleh peserta yang lain lagi. Begituuuuuuu terus. Sampai-sampai ada momen di mana dua peserta yang duduk bersebelahan berbicara bersamaan kepada forum, padahal yang mereka bicarakan berbeda. Peserta rapat yang lainnya pun melongo. Lah, ini rapat atau paduan suara sebetulnya???

Alhasil pendapat para peserta tidak bisa tersampaikan dengan tuntas dan dimengerti secara utuh. Dan malah membawa kerugian bagi semua peserta, sebab rapat menjadi lama dan muter-muter di tempat.

Hemm...kejadian agak lucu ini menjadi bahan renungan bagi saya. Mungkin semua orang bisa bicara, namun ternyata tak semuanya bisa mendengarkan (menyimak) dengan baik. Padahal Tuhan memberi kita hanya satu mulut, tetapi mata dan telinga masing-masing diberi Nya dua. Berarti sejatinya, kita diperintahkan untuk mendengar dan melihat (menyimak/memperhatikan) dua kali lebih banyak dari pada bicara. Bukan sebaliknya. Agar apa? Agar kita dapat mengambil hikmah, memetik pelajaran, dan memahami dengan utuh apa-apa yang terjadi di sekitar kita, dan ketika tiba giliran kita untuk bicara maka kita akan dapat berbicara (menyampaikan pendapat/berkomentar) dengan tepat.

Lalu mengapa yang kerap terjadi justru sebaliknya? Semangat 45 ketika diri sendiri bicara, tetapi tak mampu bersabar mendengar saat orang lain yang bicara...

Ini karena ayah bunda yang baik, kemampuan mendengarkan dengan utuh alias menyimak ini memang tidak muncul secara tiba-tiba. Sebagaimana kemampuan bicara yang kita pelajari dan latih sejak kecil dulu, mendengarkan/menyimak ini sejatinya juga butuh dipelajari dan dilatih sejak dini.

Caranya?

Ada satu cara yang menarik untuk melatihnya. Cara ini saya dapatkan dari sebuah cerita pendek berjudul “Silent-Talk” karangan Aya Shofia dalam buku “Benih-Benih Kebaikan” terbitan Wonderful Publishing tahun 2019. Singkat cerita, Arkam yang duduk di kelas 3 SD ditegur oleh gurunya saat jam pelajaran bahasa indonesia. Penyebabnya, ia diajak ngobrol terus oleh teman sebangkunya bernama Rio. Lepas ditegur, rupanya Rio masih juga melanjutkan ceritanya pada Arkam tentang game terbaru yang berhasil ia pecahkan rekornya. Sebenarnya Arkam tak terlalu tertarik dengan cerita Rio, dan merasa tidak enak dengan gurunya, karena Rio bercerita saat guru mereka sedang menjelaskan pelajaran.


Cerpen "Slent-Talk" karangan Aya Shofia

Pulang sekolah, Arkam menceritakan kejadian itu pada ibunya. Di situlah lalu ibunya mengajarkan Arkam untuk membuat kesepakatan Silent-Talk dengan Rio. Jadi Arkam dan Rio harus membuat kesepakatan kapan waktunya mereka berdua tidak boleh bicara dan menyimak betul-betul pelajaran dari guru (silent) dan kapan mereka berdua bisa ngobrol dan saling bercerita (talk).

Nah, sejatinya konsep silent-talk ini bisa kita terapkan juga antara kita dengan anak-anak kita. Saat kita harus bicara pada anak-anak kita (talk), minta pada mereka untuk mendengarkan dulu apa yang akan kita sampaikan (silent). Sebaliknya, saat mereka sedang bicara meski masih terbata-bata (talk), giliran kita mendengarkan sampai mereka selesai mengutarakannya (silent). Jangan memotongnya, kecuali bila kita terpaksa, dengan meminta maaf terlebih dulu pada mereka.

Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya dalam dunia pengasuhan, maka cara terbaik dalam mengajarkan silent-talk ini kepada anak-anak kita adalah dengan TELADAN. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya pula dalam dunia pengasuhan, maka mengajarkan silent-talk ini adalah PROSES, butuh tekad yang bulat, usaha yang kuat, kesabaran yang berlipat, dan doa yang terus dipanjat. Namun demikian, percayalah ayah bunda sekalian, buah dari proses panjang ini akan sangat manis terasa dan menjadi bekal berharga untuk anak-anak kita menjalani kehidupannya.

-Self reminder-
Semoga bermanfaat.




Sabtu, 09 Mei 2020

DI RUMAH SAJA MENGISI JIWA



Salah satu kegiatan yang ampuh mengusir jenuh selama di rumah saja bagi saya ialah membaca buku. Alhamdulillaaah beberapa buku fiksi bisa saya khatamkan. Dan semuanya meninggalkan kesan yang mendalam. Salah satunya ialah buku Si Anak Pintar karangan Tere Liye.

Buku terbitan Republika tahun 2018 ini bercerita tentang masa kecil Pukat (tokoh utama dalam buku ini) seorang anak laki-laki kelas 5 SD beserta Bapak Mamaknya, ketiga saudaranya, dan seluruh penduduk kampungnya di Sumatera.

Di sampul belakang buku setebal 345 halaman ini tertulis kalimat “Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini adalah mahkotanya”. Setuju. Sebab buku ini (sebagaimana buku karangan Tere Liye lainnya) memberikan banyak pelajaran kehidupan. Termasuk pelajaran tentang parenting. Salah satunya tentang mengisi jiwa anak.

Bagi Anda yang sudah maupun belum membaca buku ini, izinkan saya menceritakan kembali salah satu bab-nya yang berjudul “Untung-Rugi”.


Suatu kali Pukat dan Burlian (adiknya) menemani Mamak mereka berjualan duku di pasar kalangan. Pasar ini dibuka sejak pukul enam pagi selama empat jam saja di sebuah lapangan. Hanya seminggu sekali adanya.

Para pedagangnya menggunakan tikar, terpal, atau alas lainnya lantas sembarang menghamparkan dagangannya. Nah karena panen duku keluarga pukat sangat melimpah dan tak habis-habis meski sudah dimakan sendiri setiap hari dan dibagi-bagikan ke tetangga, maka Mamak memutuskan menjualnya di pasar kalangan.

Datanglah pembeli pertama.

“Buahnya baru, bu?” tanyanya.

“Baru dipetik kemarin.” Mamak mengangguk.

“Satu tumpukan berapa?” Pembeli itu tertarik.

“Lima ribu.”

“Tiga ribu bisa tidak?”

Mamak mengangguk ringan. Pukat terkejut. Langsung hilang rasa ngantuknya pagi itu. Gampang sekali Mamak ditawar? Biasanya pedagang lain keras kepala tidak mau mengalah dan pembelinya juga keras kepala memaksa.

“Murah sekali, Mak?” Pukat berbisik protes.

“Biar saja. Penglaris.” Mamak memasukkan tumpukan duku ke dalam kantong plastik lalu memberikannya pada si pembeli. Pembeli itu tersenyum. Transaksi selesai.

Tak lama kemudian dua pembeli lain mendekat. Ternyata masih terhitung saudara yang tinggal di kampung lain.

“Duku ladang sendiri, Kak Nung?”

Mamak mengangguk.

“Tolong bungkuskan dua tumpukan.”

Ternyata Mamak menumpahkan lebih banyak duku ke dalam kantong plastik. Membuatnya hampir dua kali lebih banyak dari yang diminta. Pembeli itu tertawa senang, menyerahkan uang, transaksi selesai.

“Mak, kenapa dikasih banyak sekali?” Pukat protes saat punggung pembeli tadi hilang ditelan kerumunan pengunjung pasar.

“Biar saja. Masih saudara kita, “ Mamak menjawab ringan. Baiklah, masih masuk akal, semasuk akal saat pembeli pertama tadi.

“Ah, mahal sekali. Di tempat sebelah harganya cuma dua ribu satu tumpukan.” Pembeli berikutnya menawar. Mamak mengangguk sepakat, sama sekali tidak berniat menawar balik, lalu menyuruh Pukat membungkuskannya. Pukat menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas berbisik “Mana mungkin lapak sebelah menjual seharga itu. Kita jual lima ribu saja itu sudah paling murah sedunia, Mak.”

“Biar saja. Kita tidak rugi ini.”

“Rugi, Mak! Seharusnya kita bisa menjual lebih mahal.” Protes Pukat.

“Kau ini dari tadi pagi berisik.” Mamak melotot.

Pukat menghela napas putus asa. “Bagaimana mungkin aku tidak berisik? Mamak melanggar seluruh tata tertib standar berjualan di pasar kalangan.” Pikirnya.

Baru pukul delapan, ternyata tiga keranjang duku yang dibawa sudah habis terjual.

“Gulanya sekilo berapa?” Selesai jualan, Mamak membeli keperluan rumah tangga untuk seminggu ke depan.

“Tiga ribu delapan ratus. Ini gula putih kelas satu.” Si penjual menepuk-nepuk karung gulanya.

Mamak mengangguk, tersenyum, minta dibungkuskan dua kilogram. Pukat lagi-lagi menepuk jidat. Kalau yang ini ia sudah tahu, ini kelakukan Mamak sejak dulu. Setiap kali berbelanja, Mamak tidak pernah menawar harga yang diminta.

Setibanya di rumah, terjadilah dialog antara Pukat dan Burlian (adiknya) dengan Bapak.

“Banyak sekali contoh kebaikan sederhana di dunia ini yang semakin pudar, Pukat. Besok lusa, saat kau melihat dunia, pindah dari kampung ini, kau akan melihat lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan kecil yang hilang, digantikan kesombongan dan keserakahan hidup.” Bapak menyeka bibir, kopi luwaknya meninggalkan bekas.

“Pasar misalnya. Jika kau memprotes cara Mamak kau berjualan tadi pagi, itu karena kau masih memahami pasar sebagai tempat jual-beli. Untung-rugi. Mahal-murah. Kau belum memahami pasar sebagai bagian kehidupan kita, tempat untuk berbuat kebaikan, menebalkan rasa jujur dan prasangka baik. Oi, bukankah kau tahu, agama kita meneladani begitu banyak adab bertransaksi yang indah di pasar?”

“Jual-beli itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik, memberikan barang yang benar, tanpa menipu, senang hati melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan, niscaya ia mendapat keuntungan yang berlipat-lipat.” Lanjut Bapak.

“Tidak mungkin! Bagaimana kita untung berlipat-lipat kalau menjual lebih murah?” Pukat protes. Penjelasan bapak tidak bisa diterima oleh nalarnya.

“Itu karena kau menghitung keuntungan yang terlihat saja. Oi, rasa senang yang muncul dari proses kebaikan itu tidak bisa dibeli dengan uang segunung. Kalian masih terlalu kecil untuk mengerti. Sayangnya, hari ini, esok-esok lusa, akan lebih banyak orang dewasa yang tahu urusan ini, tetapi tetap pura-pura tidak mengerti. Kalian tahu, hal ini juga berlaku sebaliknya. Barang siapa yang membeli dengan santun, ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar, nisacaya bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya telah mendapatkan harga yang lebih murah......”

“Bagaimana akan mendapatkan harga yang lebih murah kalau tidak ditawar, Pak?” Kali ini Burlian yang menyela, menghentikan gerakan tangannya menyendok sup jagung.

“Kenapa tidak? Itu bisa terjadi jika pedagang sudah datang dengan pemahaman yang baik, menjual dengan harga yang baik, tidak menipu. Maka buat apa lagi pembeli menawar?” Ucap bapak.


Itulah sedikit penggalan bab “Untung-Rugi” dalam buku Si Anak Pintar.

Sebetulnya ada banyak lagi obrolan antara Bapak maupun tokoh-tokoh lainnya dengan Pukat. Dan semua obrolan itu berkesan. Sungguh sarat akan pelajaran kehidupan. Termasuk ketika Bapak menjelaskan tentang hakikat sesungguhnya dari jual-beli dan cara bijak memandang pasar yang sudah mulai pudar saat ini. Dan penjelasan Bapak itu rupanya melekat kuat dalam diri Pukat hingga ia dewasa.

Begitulah ayah bunda yang baik, sesungguhnya ngobrol adalah sarana yang sangat ampuh untuk mengisi jiwa anak-anak kita dengan nilai-nilai kebaikan yang kelak akan menjadi bekal mereka menjalani kehidupan ini.  Sayangnya, kegiatan ngobrol antara orang tua dengan anak ini mulai pudar, tergantikan oleh kesibukan orang tua dan anak yang ngobrol dengan gadget-nya sendiri-sendiri.

“Ah, setiap hari saya juga sudah ngomong kok sama anak saya, sudah saya nasehatin ini itu, sampai capek mulut saya. Tapi anak sekarang itu memang susah dikasih tau. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Matanya ke Hapeeee teruuusss.....dst dst.....”

Nah, inilah pentingnya kita paham dulu apa itu NGOBROL, terutama ngobrol yang enak. Sehingga tak perlu sampai berbusa-busa mulut kita, namun setiap kata yang kita sampaikan bisa tertanam kuat di jiwanya.

Pertama, ngobrol itu dua arah, kalau hanya satu arah namanya ceramah. Kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya (baik orang tua maupun anak) punya kesempatan yang sama untuk bicara.

Kedua, ngobrol itu gantian bukan barengan. Kalau yang satu bicara, maka yang lain harus sabar mendengarkan. Kalau semuanya sama-sama biacara, lantas siapa yang mendengarkan? Dan mendengarkan ini ya benar-benar menyimak, bukan cuma sepintas lalu.

Ketiga, ngobrol itu posisi tubuh kita setara, sama-sama berdiri, sama-sama duduk, atau sama-sama rebahan. Kalau yang satu berdiri sementara yang satunya lagi duduk kan kasihan, yang berdiri bisa kesemutan kakinya sementara yang duduk bisa pegel lehernya karena mendongak terus hehehe...

Keempat, ngobrol itu supaya enak, kondisikan tempat dan suasana yang enak pula. Matikan dulu TV di hadapan. Singkirkan dulu gadget di genggaman. Kalau perlu sediakan camilan dan minuman.

Mungkin ada di antara kita yang kesulitan ngobrol dengan anak karena memang tak terbiasa. Tapi yuk Bismillah kita mulai ayah bunda. Mulai dengan niat yang baik. Mulai dengan bertanya yang sederhana dulu saja, seperti

Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?

Atau “Nak, dulu waktu ayah/bunda masih seumurmu.......

Atau “Apakah kamu kangen bertemu teman-teman dan guru-gurumu di sekolah?

Dan lain-lain...

Mungkin terasa agak canggung. Tak apa, ibarat naik sepeda, kita selalu butuh kayuhan pertama yang biasanya agak berat terasa, tapi kayuhan-kayuhan berikutnya akan lebih ringan rasanya.

Mumpung juga kita lebih banyak di rumah saja karena wabah corona. Sama-sama kita isi jiwa anak-anak kita dengan nilai-nilai kebaikan dan pelajaran-pelajaran kehidupan. Salah satunya melalui obrolan-obrolan. Sehingga kelak anak-anak kita bertumbuh secara utuh, dengan jiwa dan raga yang tangguh. Sebelum waktu terus berputar, dan tak terasa mereka bertambah besar, lalu terlanjur lebih dekat dengan teman-temannya di luar.

-Self reminder-
#cerita ramadhan dari rumah saja

Kamis, 30 April 2020

TOKO MAMA


Suatu hari sepulang dari main di rumah teman depan rumah, anak saya bercerita.

Bun bun, mamanya A (teman depan rumah itu) bikin toko lho, bun”.

Toko??? Toko apa???” Saya agak bingung, sebab setahu saya tetangga depan rumah kami itu tidak buka toko.

Toko Mama.

Toko Mama??? Jualan apa???

Jualan jajan! Ada coklat, permen, ciki-ciki, banyaaak.... Terus mamanya A juga bikin uang-uangan warna pink. Nah, tadi aku sama A bantu bersih-bersih, terus kami dikasih uang pink itu sama mamanya. Terus boleh beli jajan di tokonya itu pakai uang pink itu...

Ooooh, setelah saya cari tahu sendiri, rupanya tetangga depan rumah saya itu (mamanya si A) memang berinisiatif bikin “toko”. Namanya Toko Mama. Toko yang sengaja dibuatnya untuk mengajari anaknya tentang uang. Ada daftar pekerjaan bersih-bersih rumah dan berapa lembar uang yang bisa didapat dari setiap pekerjaan bersih-bersih itu (upah). Uangnya ia buat sendiri dari lembaran kertas warna pink yang ditulisi angka 500, 1000, dan 2000. Ada pula macam-macam jajanan beserta daftar harganya. Brilian!!!

Mengapa brilian?

Sebab, pelajaran tentang uang memang perlu untuk diberikan pada anak-anak kita sejak dini. Ini penting.

Saya pribadi agak sedih sebetulnya melihat beberapa teman anak saya yang masih TK bahkan PAUD diberi uang oleh orang tuanya. Biasanya lembaran 2000 atau 5000. Tapi mereka tidak diberi penjelasan dulu tentang uang itu. Para orang tua sekedar memberi uang agar anaknya bisa beli jajan atau mainan SENDIRI!

Mungkin si anak sudah bisa membaca angka sehingga ia tahu itu uang berapa. Tapi ada juga yang bahkan belum bisa membaca angka 2 dengan 3 angka nol di belakangnya. Yang penting diberi uang selembar untuk beli jajan atau mainan, si anak tinggal pilih mana yang dia suka, lalu berikan selembar uang itu pada penjualnya. Pasrah saja pada si penjual, kalau uangnya lebih maka si penjual akan memberikan kembalian pada si anak, kalau pas maka si anak boleh langsung pergi, dan kalau kurang maka si penjual akan berkata pada si anak “uangnya kurang, bilang ke ibumu ya...”

Dengan kata lain, si anak yang diberi uang oleh orang tuanya itu belum mengerti apa arti uang 2000, 5000, dst. Misal ia beli jajan seharga 1000 dengan selembar uang 2000 apakah uangnya cukup atau kurang. Syukur-syukur kalau si penjual jujur dan baik hati, tak masalah. Lha bagaimana kalau penjualnya curang dan memanfaatkan ketidaktahuan si anak? Harga jajan 1000, uangnya 2000, setelah beli si anak langsung disuruh pulang tanpa diberi uang kembalian. Mungkin orang tua bisa berkata “Halaaah...cuma kembalian 1000 rupiah aja kok, ikhlasin aja”. Ya boleh-boleh saja. Tapi ini bukan tentang ikhlasin aja. Ini tentang mendidik (which is jauh lebih penting), yakni mengajarkan tentang uang itu sendiri pada anak, sehingga anak paham betul tentang lembaran uang atau koin recehan yang digenggamnya sebelum membelanjakannya.

Nah, tentang mendidik ini, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ajarkan pada anak tentang uang, yaitu nilai yang tertera di uang tersebut dan nilai-nilai yang ada di baliknya.

Pertama, tentang nilai yang tertera pada uang.

Sebelum kita memberikan uang pada anak kita untuk membeli sesuatu sendiri, maka ajarkan dulu ia tentang angka. Ia harus sudah tahu dulu angka 1, 2, 3 dan seterusnya, termasuk ratusan, ribuan, dan seterusnya pula. Ajarkan padanya, misalnya ia punya uang 2000 lalu ia ingin memberli permen seharga 500, maka berapa permen yang bisa ia dapat. Yap, persis seperti pelajaran matematika.

Waduh, repot dong kalau harus mengajari mereka tentang itu dulu.” Betul bapak ibu, jadi orang tua itu memang repot, tapi sejatinya kita sendiri juga lah yang akan menikmati hasil dari kerepotan mendidik itu kelak (selain anak kita tentunya). Lha kalau mereka sudah keburu minta uang untuk beli jajan sendiri seperti teman-temannya bagaimana?” Ya kita saja yang belikan. Mudah kan? Ini supaya anak paham betul akan benda yang ada di tangannya itu (uang).

Sebagai contoh, ini pengalaman pribadi dan sungguh-sungguh terjadi. Dulu saat hari pertama saya duduk di kelas 1 SD, ibu saya memberikan saya 2 koin uang 100 rupiah untuk bekal. Lalu saat jam istirahat, karena haus, saya segera berlari ke kantin hendak membeli minuman dingin yang dibungkus dalam plastik es. Setibanya di kantin, saya terbengong-bengong di depan wadah minuman dingin itu. Kebingungan. Mengapa? Sebab saya melihat angka yang tertera di minuman berbungkus plastik es itu adalah 75. Sementara angka yang ada di dua uang koin yang saya pegang adalah 100. Gawat, angkanya tidak sama! Berarti saya tidak bisa membelinya. Agak lama saya berpikir tentang itu sambil mengelap air liur. Dan akhirnya saya tidak jadi beli, saya tahan rasa haus saya sampai pulang ke rumah, hanya karena angkanya tidak sama! Padahal sejatinya, saya bahkan bisa dapat 2 bungkus. Konyol sekali ya hehehe...tapi itulah yang terjadi bila kita menggenggam dan menggunakan sesuatu yang tidak kita pahami terlebih dahulu. Jangan sampai kejaian konyol itu terulang pada anak-anak kita.

Kedua, yang tidak kalah pentingnya, ialah nilai-nilai di balik uang itu. 

Nilai-nilai apa maksudnya? Pemahaman tentang bagaimana cara mendapatkan uang, bagaimana cara membelanjakannya, bagaimana cara menabungnya, dan tentang bersedekah.

Ide Toko Mama dari tetangga depan rumah saya itu tepat sekali untuk mengajarkan nilai-nilai itu. Jadi pertama-tama anak harus do something dulu, harus ada usaha dulu bahkan harus kerja keras dulu untuk bisa mendapatkan uang. Seiring berjalannya waktu, kelak anak akan paham bahwa uang itu tidak jatuh begitu saja dari langit. Dengan demikian ia jadi lebih bisa menghargai uang. Dan perlu diingat, kita sebagai orang tua tidak hidup selamanya. Kalau anak kita terbiasa hanya meminta dari kita saja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, bagaimana bila kelak kita pergi lebih dulu dari dunia ini? Pada siapa mereka akan meminta? Sementara kita sendiri tidak tahu berapa lama usia kita.

Terkait usaha yang harus dilakukan dulu oleh anak agar ia bisa mendapat uang, mari kita fokus pada niat dan kerja kerasnya. Nah, selain dalam bentuk bersih-bersih rumah yang sesuai dengan kemampuannya, kita juga bisa memintanya membuat suatu karya, lalu minta ia menjualnya pada kita. Misalnya minta ia membuat gambar yang bagus, lalu minta ia menjualnya pada kita dan kita membelinya. Dengan demikian ia pun bisa mendapat uang dari hasil karyanya sendiri.

Atau bisa juga kita memberinya modal untuk membeli sesuatu untuk ia jual kembali pada orang lain dengan mengambil untung. Misal kita memberinya uang untuk membeli alat tulis lalu minta ia menjual kembali alat-alat tulis itu pada teman-temannya dengan harga yang sudah ditambah dengan keuntungan yang bisa ia dapat.

Atau kalau anak kita punya banyak buku di rumah bisa juga ajarkan mereka membuka persewaan buku. Jadi teman-temannya boleh menyewa buku dalam kurun waktu tertentu dan membayar uang sewanya.

Nah, selain mengajari mereka bagaimana cara mendapatkan uang, ajarkan pula pada mereka untuk membelanjakan uangnya. Dari Toko Mama itu anak belajar untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri apa yang ia mau beli. Memilih dan mengambil keputusan ini juga penting. Karena percaya atau tidak, ada lho yang hingga dewasa selalu bingung memilih kalau mau beli sesuatu. Salah satu penyebabnya ya karena tidak terbiasa memiilih dan memutuskan sendiri sesuai kebutuhannya. Kalau sudah memilih lalu yang dibeli tidak sesuai harapan? Misalnya beli permen tapi ternyata rasanya tidak enak? Nah ini pelajaran juga bagi anak-anak, pelajaran tentang konsekuensi dari pilihan/keputusan. Kalau barang yang dibeli sesuai harapan maka bersyukurlah, tapi kalau tidak alias mengecewakan maka bersabarlah, setidaknya kita jadi tahu tentang barang yang sudah dibeli itu.

Lha kalau ternyata uang yang didapat belum cukup untuk membeli barang yang diinginkan, maka inilah saatnya mengajari anak-anak kita tentang menabung hingga uangnya terkumpul. Anda bisa memanfaatkan barang bekas untuk dijadikan celengannya sekaligus menghiasnya bersama agar menarik. Kalau perlu tulis di celengan itu barang apa yang ingin dibelinya sehingga anak-anak lebih bersemangat menabung.

Yang tidak kalah pentingnya juga adalah mengajari mereka menabung untuk akhirat alias bersedekah. Ajarkan pada mereka untuk menyisihkan uang yang mereka dapat untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Tak masalah berapapun jumlahnya, semampu mereka. Itu akan membuat hati bahagia.

Lalu, umur berapa semua nilai-nilai itu bisa mulai diajarkan dan diterapkan pada anak-anak? Tergantung dari kesiapan masing-masing anak untuk bisa diajak berkomunikasi dan dipahamkan tentang itu. Jelaskan dengan cara sederhana dan menyenangkan, seperti membuat Toko Mama itu. Dan berikan teladan dimulai dari kita dulu sebagai orang tua.

Jangan lupa untuk memberi apresiasi atas setiap usaha anak-anak kita dalam mendapatkan uang dengan keringatnya sendiri, membelanjakannya, menabungnya dengan sabar, dan menyedekahkannya.

Nah mumpung kita semua sedang banyak di rumah saja akibat pandemi corona, kita bisa mulai mengenalkan pada anak-anak tentang nilai yang tertera pada uang dan nilai-nilai yang ada di baliknya. Bisa dengan cara Toko Mama atau dengan cara-cara kreatif lainnya. Selamat mencoba!

-Self Reminder-
#cerita ramadhan dari rumah saja